Rabu, 14 Mei 2008

lokasi penemuan


Seperti ini gambaran lokasi penemuan Survivor Ismarilianti.
Dibawah tebing batu, hanya saja airnya tidak mengalir. tinggi tebing 12 meter, dibawah tebing ada ceruk kecil, cukup untuk 3 orang.

Tentang Gunung Slamet



Gunung Slamet

Gunung Slamet adalah gunung tertinggi (3432 M) di Jawa Tengah, disamping terkenal karena ketinggiannya, gunung yang terletak di sebelah utara kota Purwokerto dan sebelah barat kota Purbalingga ini juga mempunyai beberapa sumber air panas yang salah satunya adalah tempat rekreasi Baturaden (purwokerto). Untuk mencapai puncak slamet, ada beberapa rute pendakian yang dapat ditempuh diantaranya : 1. Blambangan (punggung timur) 2. Baturaden (punggung selatan) 3. Kaliwadas (punggung barat) Dari beberapa rute pendakian yang ada, blambangan adalah rute yang paling banyak ditempuh oleh para pendaki, disamping karena jalur pendakian yang cukup aman, panorama yang ada sangat lengkap, dari pemandangan alam yang membentang ke timur sampai daerah Banjarnegara, juga banyaknya kera liar yang dapat ditemui dalam perjalanan menuju ke puncak slamet. Hanya waktu yang diperlukan untuk dapat mencapai puncak tidak secepat jalur baturaden. Perjalanan dimulai dari kota Purwokerto. Dari sini penulis menuju daerah yang dinamakan serayu (sebelah utara bobotsari), dengan menggunakan bis yang menuju ke kota Pemalang, dengan perjalanan sekitar 45 menit kami tiba di serayu dan melanjutkan perjalanan menuju meratin. Hanya ada satu angkutan yang tersedia yaitu angkutan pedesaan dengan kendaraan bak terbuka untuk dapat menuju meratin sebelum akhirnya sampai ke Blambangan. Untuk sebagai catatan di gunung ini juga hampir tidak ditemui mata air mengalir selama dalam perjalanan, jadi disarankan untuk membawa air minum yang cukup untuk pendakian. Blambangan merupakan desa terakhir dan merupakan pintu gerbang pendakian menuju puncak slamet dan di sinilah para pendaki memeriksa kembali perlengkapannya. Setelah menyelesaikan administrasinya di sini, pendakian menuju ke puncak Gunung Slamet dimulai. Meskipun gunung ini paling tinggi tapi ketinggian itu tidak terlalu terasa pada saat perjalanan, karena areal pendakian yang merupakan hutan yang masih perawan seakan lupa bahwa sedang mendaki gunung tertinggi di Jawa Tengah. Ditambah dengan bunyi binatang yang khas dan pemunculan kera yang jumlahnya tidak sedikit membuat perjalanan semakin menarik. Untuk mencapai puncak slamet dibutuhkan waktu antara 8 – 15 jam pada keadaan normal. Hutan-hutan yang asri akan hilang ketika sampai di tempat yang dinamakan Sanghyang Rangkah, dan berganti dengan semak-semak dan sesekali ditemui pohon khas pendaki atau pohon eidelweis dan buah khas pendaki (arbei). Semak - semak yang asri juga akan tiba-tiba menghilang tanpa bekas ketika sampai di Pelawangan (lawang = pintu) atau pintu menuju ke puncak slamet. Perjalanan akan semakin menarik sekaligus juga berbahaya ketika kita melalui pelawangan ini. Disamping hanya pasir dan batu dan sudut pendakian yang semakin membesar bahkan sekilas seperti mendaki tebing, di daerah ini sangat rawan kecelakaan karena di kanan kiri hanya ada jurang dan tidak ada satupun pohon untuk pegangan. Maka disarankan untuk para pemula agar ekstra hati-hati dalam mendaki daerah ini, bahkan untuk keadaan tertentu sebaiknya sambil merayap, karena pijakan kita bisa tiba-tiba longsor, karena medan yang dilalui adalah jalan berpasir dan sangat rentan untuk longsor, di daerah ini juga kadang-kadang terjadi badai gunung dan bahayanya menjadi berlipat jika badai gunung datang, oleh karena itu disarankan pula mendaki daerah ini pada saat pagi hari. Dengan dilaluinya daerah pelawangan ini maka pendaki akan menemukan dataran yang tidak begitu besar dan disana tidak ada lagi daerah yang lebih tinggi atau dengan kata lain pendaki telah sampai ke puncak slamet. Sebuah perasaan bangga sekaligus haru ketika penulis berada di puncak tertinggi di Jawa Tengah selama sekitar 15 menit. Sebuah pemandangan yang sulit dibayangkan terbentang disekeliling pandangan mata penulis. Mulai dari bibir kawah yang masih sangat aktif sampai puncak Gunung Suumbing yang letaknya sekitar 100 km arah timur Gunung Slamet terlihat dengan jelas dan betapa indahnya ciptaan Tuhan. Dan satu hikmah yang penulis dapatkan bahwa ternyata manusia sangat kecil dihadapan Yang Maha Kuasa.

Untuk Sebuah Nama

Meminjam judul lagunya Ebiet G Ade, "Lagu untuk Sebuah Nama", begitulah yang terjadi. Aku begitu terdominasi oleh nama itu, ISMARILIANTI. bahkan beberapa waktu setelah tragedi itu, nyaris saja aku tidak dapat menguasai hdupku. Aku nyaris Gila. beberapa orang bahkan sempat memergoki aku sedang bicara sendiri.Hmmm...??
Yah, dia memang telah menghabiskan hampir seluruh energiku. Tapi tidak apa-apa, aku sangat menyukai itu. Dia kini yang selalu menghadirkan inspirasi bagiku untuk selalu melakukan yang terbaik.

Lagu untuk Sebuah Nama
.............................................
Mengapa Dadaku meski bergetar, sedang musikpun manis kudengar,
Mungkin karena kulihat lagi, lentik bulu wajahmu, Bibirmu, dan rambutmu yang kau biarkan,
Jatuh bergerai dikeningmu..............

Menuju Ketinggian Tuhan

Ismarilianti kami temukan dibawah sebuah tebing seperti air terjun yang tidak teraliri air. saat itu kondisinya terlihat sangat kritis. tidak mampu merespon suara dan terus mengerang. sangat memilukan!. kami tahu dia terserang Hypothermia.
Setelah 1 malam melakukan perawatan dan sempat beberapa jam sempat membaik kondisinya. saat itulah kami terlena. Aku sempat tertidur 1.5 jam dan terbangun saat dia mengucapkan kata terakhirnya. dan saat itulah kutahu kami telah kehilangannya. Padahal dia adalah satu-satunya yang orang yang mengetahui semua kejadian yang dialami satu-persatu dari ketujuh temannya.
Yah, itulah takdir......dia telah terbang menuju ketinggian Tuhan. Dalam keremangan kabut pagi, diujung sebuah sungai kecil, didalam ceruk kecil. Ia telah melangkah dengan damai...
Begitulah sedikit cerita dibalik tragedi gunung Slamet februari 2001. Kini semua ingatan itu telah aku susun dalam sebuah buku kecil yang berisi kesaksianku tentang tragedi itu.

Untuk Sebuah Nama

Hampir 8 tahun yang lalu, tepatnya bulan Februari 2001, sebuah peristiwa besar telah mengubah hidupku, juga segenap perasaanku. Aku kehilangan begitu banyak tenaga dan pikiran, bahkan nyaris kehilangan akal sehatku.
Waktu itu, aku yang seorang penggiat alam bebas terpanggil untuk membantu teman-temanku di Mapagama yang sedang terkena musibah. 1 regu pendakian yang terdiri dari 7 orang sedang terjebaj badai di puncak gunung Slamet (3428 mdpal). sementara 20 pendaki lain yang terbagi dalam 3 kelompok juga kemungkinan sedang menghadapi hal yang sama. Badai dahsyat!!
berita yang kami terima waktu itu, 1 orang pendaki telah meninggal!
Singkat cerita, aku yang sedikit mengetahui tentang SAR, terpanggil untuk menjadi relawan. berbekal ransel korea, beberapa perlengkapan standar, serta logistik seadanya, akupun berangkat melaksanakan tugas mulia ini. Dalam upaya pencarian itu, aku bersama dengan 2 orang rekan yaitu Sugiharto (Wanadri) dan Eko Cahyo Aprilianto alias Pion(P3K UGM) seolah mendapat petunjuk Tuhan, berhasil menemukan 1 orang survivor yang bernama Ismarilianti. Dia kami temukan pada ketinggian 2750 mdpal.