Senin, 02 Juni 2008

Pagi Terlahir Kembali

Bagian I

“ Badi-badi Hom…! ” teriakku begitu aku masuk kedalam ruangan kantor. Sambil bersiul-siul kecil, aku melangkah manis menuju meja kerjaku yang terletak di pojok ruangan. Aku tersenyum-senyum tebar pesona, tidak lupa menarik kuncir Sukma yang menjuntai. Padahal Sukma paling sewot bila ada orang yang berani mengganggu-gugat kuncir kesayangannya. Setengah berlari aku menghindari Sukma yang bersiap menimpukku dengan pensil yang ada ditangannya.
“Hhh…” aku menghembuskan nafas lega begitu aku duduk di kursi kerjaku. Diatas meja tampak bertumpuk berkas-berkas kertas HVS berukuran folio. Lembar penilaian personal peserta Outbound Training hari minggu lalu belum sempat aku selesaikan. Berkas-berkas tersebut bertumpuk menjadi satu dengan berkas-berkas kerjaku yang lain.
Sebuah map berisi rencana lapangan untuk program Outbound bulan depan aku keluarkan dari dalam ranselku. Pak Rully, Boss kantorku yang juga Papanya Sukma memintaku untuk menyelesaikannya hari ini, karena akan dipakainya untuk presentasi dengan klien minggu depan. Berkas setebal 20 halaman itu aku taruh saja diatas meja, malas untuk mengecek ulang.
“ Wan, mau dibikinin kopi nggak ?” teriak Mbak Dessy dari mejanya. Diatas meja mbak Dessy juga bertumpuk kertas HVS folio yang kutahu pasti berisi berkas-berkas proposal yang belum ia sebar ke perusahaan-perusahaan rekanan.
“ Tengkyu, mbak. Tadi aku sudah Ngopi di kantin kampus ! ” Jawabku tak kalah keras.
Sukma melotot lagi, Ia paling tidak suka dan sering ngomel kalau kami teriak-teriak didalam kantor. Maklum saja, dia memang diserahi papanya untuk mengurusi masalah rumah tangga dan administrasi di kantor ini. Tetapi malah teman-teman di kantor paling suka menjodoh-jodohkan aku dengan Sukma. Huh, sialan.
Tak berapa lama, Fanni rekan kerjaku dalam urusan operasional, mendekati meja kerjaku. Fanni yang berambut keriting spiral kayak mie instan tersebut, membawa Innaco berwarna oranye yang bikin aku ngiler. Sengaja ia memamerkan nutri jell kesukaanku yang berwarna merah menggoda.
“ Kamu dapat tugas dari pak Rully. Tugas khusus ! ” ujarnya serius.
“ Tugas khusus apaan Fan. Suruh ngadain demo memasak untuk ibu-ibu ?” tanyaku konyol yang langsung saja membuat kepalaku dijitak oleh Fanni.
“ Habis apa lagi. Kamu sih pake tebak-tebakan segala !” ujarku pura-pura sewot.
Aku pura-pura sibuk melanjutkan pekerjaanku. Fanni ikutan melongok ke mejaku ketika aku terlihat sibuk membuka-buka berkas -berkasku. Kali ini ia berbaik hati dengan menyodorkan beberapa cup Innaco kepadaku. Ia pasti merasa senang karena ia tahu kalau aku sangat menyukai nutri jell, apa lagi Innaco. Teman-teman kantor sering meledekku dengan menyebut aku seperti anak kecil.
Fanni mendekatkan wajahnya kearahku “ Kamu diminta mewakili perusahaan, lebih tepatnya mewakili pak Rully.” Ujarnya dengan mimik serius.
“ Apaan tuh !” aku pura-pura nggak respek.
Fanni kembali mendekatkan wajahnya.
“ Kamu disuruh mewakili pak Rully untuk ikut pendakian massal dengan pihak media di ‘gunung Slamet ‘ Sabtu depan.”
Suara pelan Fanni terdengar menggelegar seperti petir yang menyambar di tengah sawah. Hatiku menjadi sangat kacau. Kalau saja masih ada balon yang tersisa pasti akan kupegang erat-erat. Takut terlepas. Begitu juga dengan detak jantungku yang tiba-tiba berdetak lebih kencang. Benar-benar terkejut aku dibuatnya. Aku hanya bisa terdiam, tertegun sambil mengerjap-ngerjapkan mata seperti boneka yang dipajang di etalase toko.
Fanni melambaikan tangannya di depan mataku.
“ Ada apa Wan ?” tanya Fanni bingung.
“ Fan, kamu saja mewakili. Aku nggak berani.” Pintaku memelas.
Sayang sekali gadis itu hanya menggeleng sambil tersenyum.
“ Aku nggak berani melangkahi wewenang pak Rully. Ini perintah langsung beliau.”
Tiba-tiba badanku menggigil, badanku keluar keringat dingin. “ Iya, tapi aku betul-betul nggak sanggup. Aku sudah janji, please.” Pintaku sekali lagi memelas. Tiba-tiba saja Aku menjadi cengeng.
Fanni menarik sebuah kursi dari meja sebelah, ia kini duduk di seberang meja menghadap kearahku. “ Janji apaan itu ,Wan ?”
Aku meletakkan tanganku diatas meja, tangan kiriku mengusap keringat yang merembes di dahiku.
“ Aku sudah berjanji tak akan naik gunung lagi kecuali kalau jadi Tim SAR.” Ujarku lirih.
Fanni menghembuskan nafas seusai mendengar pengakuanku. Sejenak kemudian ia meraih tanganku, digenggamnya tanganku yang dingin itu erat-erat. Darahku langsung berdesir mendapat perlakuan seperti itu.
“ Wandi. Kamu kok nggak pernah cerita tentang hal itu padaku ?”
Aku hanya mendesah pelan, pikiranku masih kalut.
“ Itu memang hanya rahasia pribadiku. Tak banyak orang yang tahu tentang hal ini.”
Fanni menepuk-nepuk punggung tanganku. Ia 1 tahun lebih muda dariku. Selama aku bersahabat dengannya, ia banyak membantuku. Baik dalam urusan pekerjaan, kampus maupun kehidupan sehari-hari. Kepadanyalah aku sering berkeluh kesah tentang permasalahanku. Dialah orang yang paling dapat memahamiku.
“ Wan. Aku tidak bisa membantumu. Yang kutahu kamu harus tegar, kamu harus kuat. Aku yakin kamu pasti sanggup, aku sangat mengenalmu.” Ujar Fanni sambil meninggalkan mejaku. Sebelum ia sampai ke mejanya, ia berbalik dan mendekat.
“ Anggap saja kamu sebagai Back Up Rescuenya, mungkin itu bisa membantu. Dan satu lagi Tuan Putri akan menemanimu.”

BERSAMBUNG....

Tidak ada komentar: