Perkenalkan, namaku Samsi, dan berdiri gagah disana adalah gunung Slamet, gunung tertinggi nomor dua di pulau Jawa. Tak perlu bertanya berapa sebenarnya tinggi gunung itu, yang pasti di ketinggian puncaknya disana tersimpan sebuah monumen kematian, sebuah memori yang sangat pahit yang akan selalu muncul dalam benakku saat kudengar, kulihat dan kurasakan kehadiran gunung itu.
Sejak kecil aku terbiasa melihat puncak gunung itu. Dari sebuah desa kecil yang berjarak 70 Km dari puncak gunung tersebut dapat kulihat puncak gunung kekar yang tiada lancip itu. Badannya yang kekar dengan ujungnya yang tumpul selalu menjadi bahan leluconku semasa kecil. Konon, kerucut puncak gunung tersebut hancur dan terbang entah kemana setelah terkena tendangan dari Werkudara, seorang tokoh sakti dari dunia pewayangan.
Lupakan tentang cerita masa kecilku, kita lihat betapa gunung itu telah menjadi monumen kematian yang abadi. Disana, di ujung sebuah sungai kecil, dibawah waterfall dan seonggok ranting basah yang menumpuk didalam ceruk, tersimpan sebuah memori abadi tentang sebuah kepergian yang tak tertahankan meski doa-doa tak kunjung henti dipanjatkan. Sebentuk kabut tipis yang muncul bersama terbit matahari telah menjadi pertanda bahwa seseorang telah terbang menuju ke ketinggian Tuhan. Dialah Ismarilianti.
Siapapun tahu bahwa ketika alam sedang tidak bersahabat, maka yang didapat oleh manusia adalah bencana. Tetapi saat alam sedang bersahabat dengan manusia, maka yang didapat oleh manusia adalah anugerah, keindahan yang sangat luar biasa. Dan disana, di puncak gunung itu, batas antara bencana dan anugerah itu sangatlah tipis. Setipis oksigen yang membalut puncak Himalaya.
Hal itulah yang terjadi dengan bulan Februari 2001, keindahan yang baru saja terhampar dalam sekejap berubah menjadi malapetaka yang merenggut nyawa. Badai ganas yang menerpa puncak itu datang ketika baru saja kaki-kaki gemetar para pendaki itu dijejakkan. Dan sekejap berikutnya kematian hanya tinggal menunggu waktu dan keselamatan adalah sebuah anugerah yang sangat luar biasa.
Masrukhi, Turniyadi alias Dodo, Ahmad Fauzan, Ismarilianti dan Bregas Agung Pramudita, mereka adalah nama-nama pendaki yang harus menunggu maut datang bersama Hypothermia yang mengancam. Sementara Dewi Priamsari dan Bagus Gentur Sakanegara serta 20 pendaki yang lain seolah mendapat keajaiban Tuhan yang membuat mereka dapat selamat dari jebakan badai yang dahsyat tersebut.
Tragedi itu begitu memilukan. Bagiku, bagi kami yang mencintai mereka. Rasanya kami tidak percaya harus kehilangan mereka dalam waktu yang begitu cepat dan nuansa yang begitu tragis.
Telah 6 tahun lebih peristiwa itu berlalu, dan selama itu pula penggalan kisah peristiwa itu telah menjadi memori utama dalam benakku. Telah 6 tahun pula aku mencoba untuk menuliskan kisah pengalamanku ini. Hingga dengan segala perjuanganku melawan diri sendiri, dan disertai dengan sedikit tetesan airmata kecil, ketika aku harus mengingat saat-saat paling menyedihkan itu, akhirnya selesai sudah kisah ini. Kisah nyata, sebuah kesaksian akan peristiwa pendakian Gunung Slamet Februari 2001.
Aku ingin berbagi pengalaman, aku ingin berbagi kisah, aku juga ingin agar kisah ini dapat dikenang, dan aku sangat ingin nama-nama pendaki selalu dikenang dan menjadi abadi. Aku ingin orang tahu akan sebagian penggalan dari peristiwa itu berdasarkan kesaksian ini, hingga orang akan dapat memahami lebih akan berbagai misteria alam yang terjadi.
Pembaca, yang budiman,
Selamat membaca,
Hormat saya
Samsi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar