Bagian IV (Habis)
Seolah ada ribuan jarum yang menusuk tubuhku dan meremukkan tulang-tulangku yang membuat aku lemas hingga kaki berat untukku melangkah. Puncak baru saja kami gapai, sebagian pendaki bersorak kegirangan merayakan keberhasilan ini. Mereka berfoto-foto bersama di bibir kawah. Hanya saja tiba-tiba aku merasakan kehampaan luar biasa. Seolah-olah ada jutaan kata sunyi yang mengeluarkan seluruh udara yang ada diotakku. Aku kembali linglung dan duduk diatas sebuah batu besar agak jauh dari bibir kawah. Tak berani aku memandang ke sekitarku. Air mata yang sedari tadi aku tahan hampir saja tertumpah, ketika tiba-tiba saja dari arah bibir kawah terdengar seseorang berteriak minta tolong. Sejenak aku tertegun manakala kulihat sosok bayangan gadis berjilbab putih yang sedang berdiri di bibir kawah melambaikan tangan sambil menjerit.
“ LIANTI..!! ” teriakku membahana sambil berlari menghambur kearah bayangan tadi. Kulihat sesaat tadi bayangan itu terjatuh dalam keremangan cahaya bulan.
“ Tenang Lianti…!! ” teriakku ketika sampai di bibir kawah, kulihat sesosok tangan mungil yang sedang mencengkeram tebing yang berada 5 meter di bawah bibir kawah. Terdengar suara jeritan ketakutan dari bawah sana.
Aku berusaha mencari posisi sedekat mungkin untuk dapat meraih tangan tersebut. Tanpa mempedulikan keselamatanku, aku terus turun, meraih tonjolan demi tonjolan, celah demi celah untuk sekedar menahanku agar tidak jatuh. Akhirnya dengan berpegangan pada ujung batuan yang menonjol serta berpijak pada celah batuan, aku mengambil posisi untuk meraih tangannya. Tepat disaat cengkeraman tangan mungil itu hampir terlepas. Aku berhasil meraih pergelangan tangan mungil itu. Aku merasa tangan itu adalah tangan Lianti. Aku bertekad tak ingin kehilangannya untuk yang kedua kali.
“ Tenang Lianti..” ujarku setelah berhasil meraih tangannya.
Pemilik tangan mungil itu mulai menangis. Dasar kawah yang berasap putih nampak menganga, siap menerima kami berdua.
Aku masih memegang erat pergelangan tangannya agar tidak sampai terlepas. Sambil meringis menahan beban yang berat, aku menunggu kedua temanku yang sedang mendekat kearahku sambil berusaha mengikatkan tali ke tubuhku. Dua tali berikutnya terjulur untuk bisa di raih oleh pemilik suara yang ternyata adalah Sukma. Bukan Lianti seperti yang kulihat barusan. Satu tali lagi aku ikatkan pada pergelangan tangannya.
Setelah tali pengaman melingkar erat ditubuhku, pelan-pelan aku menurunkan tubuhku dan mengulurkan tangan kiriku untuk meraih tangan kanannya yang terlihat sudah berhasil meraih tali yang dijulurkan kepadanya. Akhirnya dengan sangat kesulitan aku berhasil meraih tangan kanannya. Tenaganya sudah sangat melemah, cengkeraman tangannya sudah tidak sekuat tadi. Dengan sekuat tenaga aku menarinya keatas. Sebisa mungkin kuusahakan agar ia berhasil memelukku agar aku lebih mudah menggendongnya naik. Ia terus menangis ketakutan.
Akhirnya dengan komando dariku, orang-orang yang diatas tebing menarik tubuh kami berdua sedikit demi sedikit. Hingga perlahan-lahan mendekati bibir tebing. Dibibir tebing sudah menunggu tangan-tangan yang siap meraih tubuh kami. Aku sudah sangat kehabisan tenaga. Hingga akhirnya aku langsung terkapar tak berdaya begitu tubuh kami berhasil ditarik ke posisi aman.
Samar-samar aku masih merasakan tubuhku diangkat dan dibaringkan di suatu tempat. Setelah itu aku tidak merasakan apa-apa lagi, sampai suatu ketika aku melihat sesosok bayangan putih berkerudung dengan wajah yang bersinar cerah bergerak pelan mendekatiku.
“ Lianti…” desisku ketika ia semakin dekat. Dengan tersenyum manis ia menggenggam kedua tanganku sambil berkata, “ Cukup, Wan. Jangan bebani kepergianku dengan rasa penyesalanmu…” Kemudian sambil beranjak pergi ia melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan denganku. Aku ingin mencegahnya, tetapi…..
Tiba-tiba aku merasa ada orang yang sedang memanggilku sambil menepuk-nepuk pipiku. Sesaat kemudian aku mengerjap-ngerjap sambil membuka kedua mataku. Samar-samar dibalik bayangan pagi yang berwarna keemasan terlihat sosok wajah Sukma yang cantik sedang tersenyum kepadaku sambil mengusap-usap pipiku. Mengetahui aku sudah sadar dari pingsanku, ia langsung memelukku.
“ Terimakasih, Wan. Kamu telah menyelamatkan nyawaku.” Ujarnya masih terus memelukku. Aku hanya bisa mengangguk pelan sambil mengusap-usap rambutnya. Kudengar ia menangis sesenggukan.
“ Lain kali kamu harus cerita kepadaku siapa itu Lianti. Kamu tadi salah menyebutku dengan Lianti.” Ujarnya sambil menyeka air matanya.
“ Pasti.” Jawabku dalam hati sambil perlahan-lahan bangkit dari pembaringanku. Kupandangi dengan seksama sosok cantik yang kini telah sangat dekat denganku. Kali ini giliran aku yang memeluknya. Kupeluk tubuhnya erat-erat sambil kupandangi sebuah titik dikejauhan sana. Untuk ketiga kalinya aku melihat sosok gadis berjilbab putih di belakang sebuah tugu memoriam kecil. Sosok itu tersenyum manis dan kembali menghilang terbawa kabut putih.
Aku menghembuskan nafas syukur atas anugerah yang Tuhan tunaikan hari ini kepadaku. Segala rasa beban yang selama menghimpitku, kini hilang. Sebuah pagi yang pernah mengambil sebagian hidupku, kini telah membuatku seperti terlahir kembali. Aku menjadi tidak takut dengan pagi. “ Terimakasih Tuhan, akhirnya penantian panjang ini telah berakhir.”
***
Jogjakarta, Agustus 2005
Kasih Komentar Ya??
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
5 komentar:
Yah bagus juga Cerita'y...But t'LLU PANJANG cerita'y jd Q cape deh baca'y ???? he..he....Baru bikin Blog apah????Salam kenal yah????Moga tambah lagi Peminat baca'y ....
Siang Mas Guteng,
Resceu team SAR untuk tragedi MaPagama di februari 2001. Suatu saat boleh bertwmu langsung sama jenengan, cerita yang menarik mengenai misteri Slamet beserta tragedi bibir kawah.
Semoga menambah wawasan saya dengan pengalaman Mas Guteng.
Salam Terbaik dan Lestari
malam mas @D.Ssatyo,
betul, saya salah satu tim rescuenya. saya sengaja bikin cerpen ini sekedar untuk mengenaang yang telah pergi. silahkan kunjungi IG saaya di @guthengsamsi
sudah membaca kisah tentang pendakian hingga akhirnya tulisan dari sampeyan.. nggak kuat nahan air mata mas pas baca.. apalagi bulan lalu dari slamet dan alhamdulillah tak ada halangan, kemudian baru tau tentang cerita pilu yang terjadi belasan tahun lalu.. pembelajaran untuk semua.. makasih sharingnya mas..
Jamuan Pedagang Kaki Lima Ala Bangkok Lihat Beritanya Disini!!!
Posting Komentar