Bagian IV (Habis)
Seolah ada ribuan jarum yang menusuk tubuhku dan meremukkan tulang-tulangku yang membuat aku lemas hingga kaki berat untukku melangkah. Puncak baru saja kami gapai, sebagian pendaki bersorak kegirangan merayakan keberhasilan ini. Mereka berfoto-foto bersama di bibir kawah. Hanya saja tiba-tiba aku merasakan kehampaan luar biasa. Seolah-olah ada jutaan kata sunyi yang mengeluarkan seluruh udara yang ada diotakku. Aku kembali linglung dan duduk diatas sebuah batu besar agak jauh dari bibir kawah. Tak berani aku memandang ke sekitarku. Air mata yang sedari tadi aku tahan hampir saja tertumpah, ketika tiba-tiba saja dari arah bibir kawah terdengar seseorang berteriak minta tolong. Sejenak aku tertegun manakala kulihat sosok bayangan gadis berjilbab putih yang sedang berdiri di bibir kawah melambaikan tangan sambil menjerit.
“ LIANTI..!! ” teriakku membahana sambil berlari menghambur kearah bayangan tadi. Kulihat sesaat tadi bayangan itu terjatuh dalam keremangan cahaya bulan.
“ Tenang Lianti…!! ” teriakku ketika sampai di bibir kawah, kulihat sesosok tangan mungil yang sedang mencengkeram tebing yang berada 5 meter di bawah bibir kawah. Terdengar suara jeritan ketakutan dari bawah sana.
Aku berusaha mencari posisi sedekat mungkin untuk dapat meraih tangan tersebut. Tanpa mempedulikan keselamatanku, aku terus turun, meraih tonjolan demi tonjolan, celah demi celah untuk sekedar menahanku agar tidak jatuh. Akhirnya dengan berpegangan pada ujung batuan yang menonjol serta berpijak pada celah batuan, aku mengambil posisi untuk meraih tangannya. Tepat disaat cengkeraman tangan mungil itu hampir terlepas. Aku berhasil meraih pergelangan tangan mungil itu. Aku merasa tangan itu adalah tangan Lianti. Aku bertekad tak ingin kehilangannya untuk yang kedua kali.
“ Tenang Lianti..” ujarku setelah berhasil meraih tangannya.
Pemilik tangan mungil itu mulai menangis. Dasar kawah yang berasap putih nampak menganga, siap menerima kami berdua.
Aku masih memegang erat pergelangan tangannya agar tidak sampai terlepas. Sambil meringis menahan beban yang berat, aku menunggu kedua temanku yang sedang mendekat kearahku sambil berusaha mengikatkan tali ke tubuhku. Dua tali berikutnya terjulur untuk bisa di raih oleh pemilik suara yang ternyata adalah Sukma. Bukan Lianti seperti yang kulihat barusan. Satu tali lagi aku ikatkan pada pergelangan tangannya.
Setelah tali pengaman melingkar erat ditubuhku, pelan-pelan aku menurunkan tubuhku dan mengulurkan tangan kiriku untuk meraih tangan kanannya yang terlihat sudah berhasil meraih tali yang dijulurkan kepadanya. Akhirnya dengan sangat kesulitan aku berhasil meraih tangan kanannya. Tenaganya sudah sangat melemah, cengkeraman tangannya sudah tidak sekuat tadi. Dengan sekuat tenaga aku menarinya keatas. Sebisa mungkin kuusahakan agar ia berhasil memelukku agar aku lebih mudah menggendongnya naik. Ia terus menangis ketakutan.
Akhirnya dengan komando dariku, orang-orang yang diatas tebing menarik tubuh kami berdua sedikit demi sedikit. Hingga perlahan-lahan mendekati bibir tebing. Dibibir tebing sudah menunggu tangan-tangan yang siap meraih tubuh kami. Aku sudah sangat kehabisan tenaga. Hingga akhirnya aku langsung terkapar tak berdaya begitu tubuh kami berhasil ditarik ke posisi aman.
Samar-samar aku masih merasakan tubuhku diangkat dan dibaringkan di suatu tempat. Setelah itu aku tidak merasakan apa-apa lagi, sampai suatu ketika aku melihat sesosok bayangan putih berkerudung dengan wajah yang bersinar cerah bergerak pelan mendekatiku.
“ Lianti…” desisku ketika ia semakin dekat. Dengan tersenyum manis ia menggenggam kedua tanganku sambil berkata, “ Cukup, Wan. Jangan bebani kepergianku dengan rasa penyesalanmu…” Kemudian sambil beranjak pergi ia melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan denganku. Aku ingin mencegahnya, tetapi…..
Tiba-tiba aku merasa ada orang yang sedang memanggilku sambil menepuk-nepuk pipiku. Sesaat kemudian aku mengerjap-ngerjap sambil membuka kedua mataku. Samar-samar dibalik bayangan pagi yang berwarna keemasan terlihat sosok wajah Sukma yang cantik sedang tersenyum kepadaku sambil mengusap-usap pipiku. Mengetahui aku sudah sadar dari pingsanku, ia langsung memelukku.
“ Terimakasih, Wan. Kamu telah menyelamatkan nyawaku.” Ujarnya masih terus memelukku. Aku hanya bisa mengangguk pelan sambil mengusap-usap rambutnya. Kudengar ia menangis sesenggukan.
“ Lain kali kamu harus cerita kepadaku siapa itu Lianti. Kamu tadi salah menyebutku dengan Lianti.” Ujarnya sambil menyeka air matanya.
“ Pasti.” Jawabku dalam hati sambil perlahan-lahan bangkit dari pembaringanku. Kupandangi dengan seksama sosok cantik yang kini telah sangat dekat denganku. Kali ini giliran aku yang memeluknya. Kupeluk tubuhnya erat-erat sambil kupandangi sebuah titik dikejauhan sana. Untuk ketiga kalinya aku melihat sosok gadis berjilbab putih di belakang sebuah tugu memoriam kecil. Sosok itu tersenyum manis dan kembali menghilang terbawa kabut putih.
Aku menghembuskan nafas syukur atas anugerah yang Tuhan tunaikan hari ini kepadaku. Segala rasa beban yang selama menghimpitku, kini hilang. Sebuah pagi yang pernah mengambil sebagian hidupku, kini telah membuatku seperti terlahir kembali. Aku menjadi tidak takut dengan pagi. “ Terimakasih Tuhan, akhirnya penantian panjang ini telah berakhir.”
***
Jogjakarta, Agustus 2005
Kasih Komentar Ya??
Senin, 02 Juni 2008
Pagi Terlahir Kembali
Bagian III
Perjalanan setelah melewati pos II mulai melambat. Para pendaki yang sebagian besar jurnalis yang mulai menua itu sebentar-sebentar minta berhenti. Sambil memegangi pinggangnya, mereka berdiri sambil berpegangan pada batang pohon sambil mengatur nafasnya yang tersengal. Jalur pendakian sebenarnya belum terlalu berat, tetapi karena ada sebagian pendaki yang mulai melorot staminanya, sehingga diputuskan untuk sering berhenti sambil menunggu para pendaki pulih tenaganya.
Masing-masing pendaki hanya membawa tas kecil yang berisi air minum, lampu senter dan makanan kecil. Semua perlengkapan yang berat-berat seperti tenda, ransum makanan, alat masak, dan perlengkapan lainnya dibawa oleh porter lokal yang sengaja di sewa. Jumlah porter sebanyak 4 orang cukup untuk membawa perlengkapan yang dibutuhkan para pendaki yang berjumlah 21 orang. Termasuk aku dan 2 orang temanku.
Sengaja aku membawa kedua orang temanku sesama tim SAR untuk membantu menjadi Back Up Rescue pendakian ini. Aku dan kedua orang temanku memilih membawa sendiri perlengkapan yang kami bawa. Semua perlengkapan dari mulai tenda, makanan hingga peralatan rescue kami bawa sendiri. Kasihan porter tersebut kalau terlalu berat bawaannya. Apalagi kami terbiasa menjadi tim SAR yang biasa membawa perlengkapan yang berat-berat.
Seusai istirahat maghrib tadi kami meninggalkan pos II, sengaja kami memilih untuk meneruskan perjalanan malam hari karena kami ingin melihat sun rise besok pagi. Jalur cukup jelas terlihat karena bulan bersinar dengan cerah. Sebagian pendaki masih menyalakan senternya meski jalurnya cukup jelas terlihat.
Perjalanan ini di pimpin oleh temanku yang sudah 4 kali melewati jalur pendakian ini. Dia sudah hafal titik-titik mana di jalur pendakian ini yang berbahaya. Setiap akan melewati titik yang berbahaya ia selalu memberi kode kepadaku yang berada di tengah formasi. Dengan sabar kami membimbing satu-persatu untuk melalui titik-titik yang sulit dan berbahaya.
Menjelang lewat tengah malam, perjalanan telah sampai di batas vegetasi. Rombongan berhenti di pos terakhir sebelum ke puncak yang tinggal 300 meter lagi tingginya. Aku menawarkan air minum kepada Sukma yang terlihat kehausan
“ Terimakasih, Wan.” Katanya sambil menerima air minum yang kutawarkan.
Bulan bersinar dengan cerah tak terhalang pohon ataupun kabut. Sekilas wajah Sukma yang bulat telur membayang dalam keremangan cahaya bulan. Rambutnya yang ia biarkan tergerai dengan kuncir yang menjuntai membentuk bayangan yang semakin indah. Dalam hati aku mengagumi sosok cantik yang berdiri didekatku ini.
Tiba-tiba jantungku berdetak lebih kencang, sebentar lagi perjalanan akan sampai di puncak. Dan aku akan merasakan kembali tempat yang pernah membuatku pilu. Hatiku mulai kacau. Entah kenapa lutut ini menjadi bergetar dan seluruh sendi-sendi menjadi lemas. Aku pun terdiam lagi.
“ Sukma. Aku tidak berani sampai ke puncak. Aku berhenti disini saja.” Kataku yang langsung disambut dengan semprotan oleh Sukma. Ia tidak menerima permintaanku untuk tidak melanjutkan perjalanan. Tetapi ia tidak dapat menerimanya, meskipun aku telah menyampaikan alasannya. Sukma tetap memaksaku untuk melanjutkan perjalanan.
“ Ingat Wan !, kamu bukan hanya ditugasi untuk mewakili Papa. Tapi juga untuk menjagaku.” Ujarnya sedikit mengancam.
“ Tapi Sukma. Aku benar-benar tidak sanggup….” Pintaku dengan sangat memelas.
“ Tidak Bisa ! pokoknya harus naik. Tidak ada alasan apapun untuk berhenti. Cowok kok penakut.” Ujarnya mulai gusar.
Akhirnya aku mengalah walaupun dengan hati yang kacau dan langkah yang gontai. Kusandang kembali carier besar yang kubawa.
Sepanjang perjalanan pikiranku berkecamuk, pemandangan kota di kejauhan sana yang sangat indah tidak mampu memancing gairahku untuk menikmatinya. Aku hanya diam ketika Sukma mengajakku untuk berfoto berdua dengan latar belakang kota yang ada dibawah. Aku hanya sibuk dengan pikiranku yang berkecamuk. Entah apa yang akan kulakukan ketika melihat tempat itu lagi. Apalagi melihat namanya terpampang di tugu peringatan itu. Hhh, darahku tiba-tiba berdesir.
BERSAMBUUUNG..lAGI...
Perjalanan setelah melewati pos II mulai melambat. Para pendaki yang sebagian besar jurnalis yang mulai menua itu sebentar-sebentar minta berhenti. Sambil memegangi pinggangnya, mereka berdiri sambil berpegangan pada batang pohon sambil mengatur nafasnya yang tersengal. Jalur pendakian sebenarnya belum terlalu berat, tetapi karena ada sebagian pendaki yang mulai melorot staminanya, sehingga diputuskan untuk sering berhenti sambil menunggu para pendaki pulih tenaganya.
Masing-masing pendaki hanya membawa tas kecil yang berisi air minum, lampu senter dan makanan kecil. Semua perlengkapan yang berat-berat seperti tenda, ransum makanan, alat masak, dan perlengkapan lainnya dibawa oleh porter lokal yang sengaja di sewa. Jumlah porter sebanyak 4 orang cukup untuk membawa perlengkapan yang dibutuhkan para pendaki yang berjumlah 21 orang. Termasuk aku dan 2 orang temanku.
Sengaja aku membawa kedua orang temanku sesama tim SAR untuk membantu menjadi Back Up Rescue pendakian ini. Aku dan kedua orang temanku memilih membawa sendiri perlengkapan yang kami bawa. Semua perlengkapan dari mulai tenda, makanan hingga peralatan rescue kami bawa sendiri. Kasihan porter tersebut kalau terlalu berat bawaannya. Apalagi kami terbiasa menjadi tim SAR yang biasa membawa perlengkapan yang berat-berat.
Seusai istirahat maghrib tadi kami meninggalkan pos II, sengaja kami memilih untuk meneruskan perjalanan malam hari karena kami ingin melihat sun rise besok pagi. Jalur cukup jelas terlihat karena bulan bersinar dengan cerah. Sebagian pendaki masih menyalakan senternya meski jalurnya cukup jelas terlihat.
Perjalanan ini di pimpin oleh temanku yang sudah 4 kali melewati jalur pendakian ini. Dia sudah hafal titik-titik mana di jalur pendakian ini yang berbahaya. Setiap akan melewati titik yang berbahaya ia selalu memberi kode kepadaku yang berada di tengah formasi. Dengan sabar kami membimbing satu-persatu untuk melalui titik-titik yang sulit dan berbahaya.
Menjelang lewat tengah malam, perjalanan telah sampai di batas vegetasi. Rombongan berhenti di pos terakhir sebelum ke puncak yang tinggal 300 meter lagi tingginya. Aku menawarkan air minum kepada Sukma yang terlihat kehausan
“ Terimakasih, Wan.” Katanya sambil menerima air minum yang kutawarkan.
Bulan bersinar dengan cerah tak terhalang pohon ataupun kabut. Sekilas wajah Sukma yang bulat telur membayang dalam keremangan cahaya bulan. Rambutnya yang ia biarkan tergerai dengan kuncir yang menjuntai membentuk bayangan yang semakin indah. Dalam hati aku mengagumi sosok cantik yang berdiri didekatku ini.
Tiba-tiba jantungku berdetak lebih kencang, sebentar lagi perjalanan akan sampai di puncak. Dan aku akan merasakan kembali tempat yang pernah membuatku pilu. Hatiku mulai kacau. Entah kenapa lutut ini menjadi bergetar dan seluruh sendi-sendi menjadi lemas. Aku pun terdiam lagi.
“ Sukma. Aku tidak berani sampai ke puncak. Aku berhenti disini saja.” Kataku yang langsung disambut dengan semprotan oleh Sukma. Ia tidak menerima permintaanku untuk tidak melanjutkan perjalanan. Tetapi ia tidak dapat menerimanya, meskipun aku telah menyampaikan alasannya. Sukma tetap memaksaku untuk melanjutkan perjalanan.
“ Ingat Wan !, kamu bukan hanya ditugasi untuk mewakili Papa. Tapi juga untuk menjagaku.” Ujarnya sedikit mengancam.
“ Tapi Sukma. Aku benar-benar tidak sanggup….” Pintaku dengan sangat memelas.
“ Tidak Bisa ! pokoknya harus naik. Tidak ada alasan apapun untuk berhenti. Cowok kok penakut.” Ujarnya mulai gusar.
Akhirnya aku mengalah walaupun dengan hati yang kacau dan langkah yang gontai. Kusandang kembali carier besar yang kubawa.
Sepanjang perjalanan pikiranku berkecamuk, pemandangan kota di kejauhan sana yang sangat indah tidak mampu memancing gairahku untuk menikmatinya. Aku hanya diam ketika Sukma mengajakku untuk berfoto berdua dengan latar belakang kota yang ada dibawah. Aku hanya sibuk dengan pikiranku yang berkecamuk. Entah apa yang akan kulakukan ketika melihat tempat itu lagi. Apalagi melihat namanya terpampang di tugu peringatan itu. Hhh, darahku tiba-tiba berdesir.
BERSAMBUUUNG..lAGI...
Pagi Terlahir Kembali
Bagian II
Sepeninggal Fanni yang kembali ke mejanya. Aku kembali diliputi bayang-bayang ketakutan. Aku harus melakukan sesuatu yang selama ini kuhindari. Sesuatu yang membuatku selalu hidup dalam bayang-bayang penyesalan. Sekilas terbayang wajah gadis berjilbab putih melintas di benakku. Lianti, gadis berwajah manis yang dulu gagal aku selamatkan. Sejak peristiwa itu aku selalu mudah teringat dengan penyesalan itu apabila ada hal-hal yang mengingatkanku tentangnya. Terutama tentang puncak gunung yang berkabut. Lalu sekarang, aku harus ikut pendakian massal di gunung Slamet. Dulu saja ketika ada Outbound di baturaden, aku menangis hampir setiap hari kalau kulihat puncak gunung itu. Oh, kuatkah aku, rintihku dalam hati.
Hari itu aku sungguh-sungguh kalut. Disatu sisi aku tidak berani menentang kehendak pak Rully. Beliau memang sangat mengandalkanku. Tetapi disatu sisi, hatiku merasa tidak sanggup melihat puncak gunung itu. Kalau masalah janji, mungkin apa yang dikatakan Fanni benar. Tetapi penyesalan yang terus menghantuiku sampai kini, apakah dapat kuatasi ketika aku melihat tugu peringatan tragedi itu besok ?.
Seharian aku terus terdiam, sampai-sampai mbak Dessy heran sendiri melihat perubahan sikapku. Apalagi biasanya aku selalu ribut dengan Sukma yang selalu aku ganggu. Ada saja hal yang dapat aku lakukan untuk menggoda Sukma. Kali ini aku meninggal mulutnya. Hanya Fanni yang agaknya tahu kenapa aku terus terdiam seperti ini.
“ Wan.” Tegur Sukma yang tiba-tiba sudah berdiri dihadapanku.” Jangan lupa kamu persiapkan perbekalan yang akan kita bawa. Kita berkumpul di kantor Media sabtu jam 9 pagi. Ingat, jangan sampai telat.”
Aku hanya menganggukkan kepala dengan pelan.
Sabtu pagi, tinggal 2 hari lagi. Secara fisik aku selalu siap. Tetapi secara psikis aku masih merasa tidak sanggup. Aku belum siap untuk berada di tempat itu lagi.
Sesampai dirumah, pikiran itu masih terus menggangguku. Aku masih menimbang-nimbang keberanianku untuk menolak perintah pak Rully atau keberanianku untuk berada di puncak gunung itu lagi. Meskipun mewakili perusahaan sebenarnya bukanlah tugasku di kantor. Itu adalah tugas Heni yang juga merangkap sebagai Humas. Tetapi diantara teman sekantorku, akulah yang memiliki pengetahuan tentang gunung hutan yang lebih dari yang lain. Selain itu karena pak Rully memang sangat mempercayaiku.
Peristiwa itu sudah 4 tahun berlalu. Tetapi bayangan penyesalan atas kegagalan itu masih terus membekas sampai sekarang. Bahkan seperti virus komputer yang akan merusak jaringan otak dan ingatanku begitu ada hal-hal yang mengingatkanku tentang Lianti. Kadang-kadang otakku bisa ‘Hang’ kalau serangan virus itu begitu kuat. Meskipun sudah sering terjadi, aku belum punya anti virus yang ampuh untuk mengatasi serangan itu.
Seperti hari ini, aku hanya bisa berdiam diri terus tanpa tahu harus berbuat apa-apa. Aku seperti orang linglung yang tak tahu kemana jalan untuk pulang.
Penyesalan itu berawal dari kegagalanku sewaktu menjadi tim SAR pada tragedi di gunung Slamet 4 tahun lalu. Sebagai seorang pegiat alam bebas, hatiku tergerak untuk ikut menyumbangkan tenagaku untuk melakukan pencarian tersebut. Setelah menempuh perjalanan berat menembus hutan lebat selama 3 hari 2 malam. Timku yang hanya beranggotakan 3 orang, berhasil menemukan satu orang pendaki perempuan bernama Lianti yang tersesat di sekitar puncak. Lianti masih hidup dan kondisinya yang kritis semakin mambaik di malam harinya. Hanya saja di pagi hari berikutnya yang sangat dingin, kabut tipis di ujung lembah itu telah membawanya terbang tinggi. Lianti terbang tinggi menuju ke ketinggian Tuhan. Meninggalkanku yang hanya bisa menyesali diri. Padahal kalau saja aku tidak tertidur, kalau saja aku terus menjaganya, kalau saja……
Berbulan-bulan aku terus bergelut dengan penyesalanku. Selama itu aku belum bisa memaafkan diriku sendiri. Hari-hariku yang murung selalu tak pernah aku perhatikan. Badanku sudah tak terurus lagi. Nyaris aku menjadi gila !!.
Untung saja Fanni hadir dalam kehidupanku. Tiap hari ia selalu menjadi teman setiaku, mendengarkanku bercerita, memberikan nasihat-nasihat yang berguna. Dan karena Fanni juga, aku bisa diterima kerja di tempat ini. Sehingga pelan-pelan aku sedikit melupakan luka lamaku. Hidupku kembali tertata. Fanni telah membuat hidupku kembali bergairah. Meski mimpi buruk tentang peristiwa masih terus menggangguku. Tetapi selalu ada Fanni yang membantuku.
**
BERSAMBUNG lAGI...
Sepeninggal Fanni yang kembali ke mejanya. Aku kembali diliputi bayang-bayang ketakutan. Aku harus melakukan sesuatu yang selama ini kuhindari. Sesuatu yang membuatku selalu hidup dalam bayang-bayang penyesalan. Sekilas terbayang wajah gadis berjilbab putih melintas di benakku. Lianti, gadis berwajah manis yang dulu gagal aku selamatkan. Sejak peristiwa itu aku selalu mudah teringat dengan penyesalan itu apabila ada hal-hal yang mengingatkanku tentangnya. Terutama tentang puncak gunung yang berkabut. Lalu sekarang, aku harus ikut pendakian massal di gunung Slamet. Dulu saja ketika ada Outbound di baturaden, aku menangis hampir setiap hari kalau kulihat puncak gunung itu. Oh, kuatkah aku, rintihku dalam hati.
Hari itu aku sungguh-sungguh kalut. Disatu sisi aku tidak berani menentang kehendak pak Rully. Beliau memang sangat mengandalkanku. Tetapi disatu sisi, hatiku merasa tidak sanggup melihat puncak gunung itu. Kalau masalah janji, mungkin apa yang dikatakan Fanni benar. Tetapi penyesalan yang terus menghantuiku sampai kini, apakah dapat kuatasi ketika aku melihat tugu peringatan tragedi itu besok ?.
Seharian aku terus terdiam, sampai-sampai mbak Dessy heran sendiri melihat perubahan sikapku. Apalagi biasanya aku selalu ribut dengan Sukma yang selalu aku ganggu. Ada saja hal yang dapat aku lakukan untuk menggoda Sukma. Kali ini aku meninggal mulutnya. Hanya Fanni yang agaknya tahu kenapa aku terus terdiam seperti ini.
“ Wan.” Tegur Sukma yang tiba-tiba sudah berdiri dihadapanku.” Jangan lupa kamu persiapkan perbekalan yang akan kita bawa. Kita berkumpul di kantor Media sabtu jam 9 pagi. Ingat, jangan sampai telat.”
Aku hanya menganggukkan kepala dengan pelan.
Sabtu pagi, tinggal 2 hari lagi. Secara fisik aku selalu siap. Tetapi secara psikis aku masih merasa tidak sanggup. Aku belum siap untuk berada di tempat itu lagi.
Sesampai dirumah, pikiran itu masih terus menggangguku. Aku masih menimbang-nimbang keberanianku untuk menolak perintah pak Rully atau keberanianku untuk berada di puncak gunung itu lagi. Meskipun mewakili perusahaan sebenarnya bukanlah tugasku di kantor. Itu adalah tugas Heni yang juga merangkap sebagai Humas. Tetapi diantara teman sekantorku, akulah yang memiliki pengetahuan tentang gunung hutan yang lebih dari yang lain. Selain itu karena pak Rully memang sangat mempercayaiku.
Peristiwa itu sudah 4 tahun berlalu. Tetapi bayangan penyesalan atas kegagalan itu masih terus membekas sampai sekarang. Bahkan seperti virus komputer yang akan merusak jaringan otak dan ingatanku begitu ada hal-hal yang mengingatkanku tentang Lianti. Kadang-kadang otakku bisa ‘Hang’ kalau serangan virus itu begitu kuat. Meskipun sudah sering terjadi, aku belum punya anti virus yang ampuh untuk mengatasi serangan itu.
Seperti hari ini, aku hanya bisa berdiam diri terus tanpa tahu harus berbuat apa-apa. Aku seperti orang linglung yang tak tahu kemana jalan untuk pulang.
Penyesalan itu berawal dari kegagalanku sewaktu menjadi tim SAR pada tragedi di gunung Slamet 4 tahun lalu. Sebagai seorang pegiat alam bebas, hatiku tergerak untuk ikut menyumbangkan tenagaku untuk melakukan pencarian tersebut. Setelah menempuh perjalanan berat menembus hutan lebat selama 3 hari 2 malam. Timku yang hanya beranggotakan 3 orang, berhasil menemukan satu orang pendaki perempuan bernama Lianti yang tersesat di sekitar puncak. Lianti masih hidup dan kondisinya yang kritis semakin mambaik di malam harinya. Hanya saja di pagi hari berikutnya yang sangat dingin, kabut tipis di ujung lembah itu telah membawanya terbang tinggi. Lianti terbang tinggi menuju ke ketinggian Tuhan. Meninggalkanku yang hanya bisa menyesali diri. Padahal kalau saja aku tidak tertidur, kalau saja aku terus menjaganya, kalau saja……
Berbulan-bulan aku terus bergelut dengan penyesalanku. Selama itu aku belum bisa memaafkan diriku sendiri. Hari-hariku yang murung selalu tak pernah aku perhatikan. Badanku sudah tak terurus lagi. Nyaris aku menjadi gila !!.
Untung saja Fanni hadir dalam kehidupanku. Tiap hari ia selalu menjadi teman setiaku, mendengarkanku bercerita, memberikan nasihat-nasihat yang berguna. Dan karena Fanni juga, aku bisa diterima kerja di tempat ini. Sehingga pelan-pelan aku sedikit melupakan luka lamaku. Hidupku kembali tertata. Fanni telah membuat hidupku kembali bergairah. Meski mimpi buruk tentang peristiwa masih terus menggangguku. Tetapi selalu ada Fanni yang membantuku.
**
BERSAMBUNG lAGI...
Pagi Terlahir Kembali
Bagian I
“ Badi-badi Hom…! ” teriakku begitu aku masuk kedalam ruangan kantor. Sambil bersiul-siul kecil, aku melangkah manis menuju meja kerjaku yang terletak di pojok ruangan. Aku tersenyum-senyum tebar pesona, tidak lupa menarik kuncir Sukma yang menjuntai. Padahal Sukma paling sewot bila ada orang yang berani mengganggu-gugat kuncir kesayangannya. Setengah berlari aku menghindari Sukma yang bersiap menimpukku dengan pensil yang ada ditangannya.
“Hhh…” aku menghembuskan nafas lega begitu aku duduk di kursi kerjaku. Diatas meja tampak bertumpuk berkas-berkas kertas HVS berukuran folio. Lembar penilaian personal peserta Outbound Training hari minggu lalu belum sempat aku selesaikan. Berkas-berkas tersebut bertumpuk menjadi satu dengan berkas-berkas kerjaku yang lain.
Sebuah map berisi rencana lapangan untuk program Outbound bulan depan aku keluarkan dari dalam ranselku. Pak Rully, Boss kantorku yang juga Papanya Sukma memintaku untuk menyelesaikannya hari ini, karena akan dipakainya untuk presentasi dengan klien minggu depan. Berkas setebal 20 halaman itu aku taruh saja diatas meja, malas untuk mengecek ulang.
“ Wan, mau dibikinin kopi nggak ?” teriak Mbak Dessy dari mejanya. Diatas meja mbak Dessy juga bertumpuk kertas HVS folio yang kutahu pasti berisi berkas-berkas proposal yang belum ia sebar ke perusahaan-perusahaan rekanan.
“ Tengkyu, mbak. Tadi aku sudah Ngopi di kantin kampus ! ” Jawabku tak kalah keras.
Sukma melotot lagi, Ia paling tidak suka dan sering ngomel kalau kami teriak-teriak didalam kantor. Maklum saja, dia memang diserahi papanya untuk mengurusi masalah rumah tangga dan administrasi di kantor ini. Tetapi malah teman-teman di kantor paling suka menjodoh-jodohkan aku dengan Sukma. Huh, sialan.
Tak berapa lama, Fanni rekan kerjaku dalam urusan operasional, mendekati meja kerjaku. Fanni yang berambut keriting spiral kayak mie instan tersebut, membawa Innaco berwarna oranye yang bikin aku ngiler. Sengaja ia memamerkan nutri jell kesukaanku yang berwarna merah menggoda.
“ Kamu dapat tugas dari pak Rully. Tugas khusus ! ” ujarnya serius.
“ Tugas khusus apaan Fan. Suruh ngadain demo memasak untuk ibu-ibu ?” tanyaku konyol yang langsung saja membuat kepalaku dijitak oleh Fanni.
“ Habis apa lagi. Kamu sih pake tebak-tebakan segala !” ujarku pura-pura sewot.
Aku pura-pura sibuk melanjutkan pekerjaanku. Fanni ikutan melongok ke mejaku ketika aku terlihat sibuk membuka-buka berkas -berkasku. Kali ini ia berbaik hati dengan menyodorkan beberapa cup Innaco kepadaku. Ia pasti merasa senang karena ia tahu kalau aku sangat menyukai nutri jell, apa lagi Innaco. Teman-teman kantor sering meledekku dengan menyebut aku seperti anak kecil.
Fanni mendekatkan wajahnya kearahku “ Kamu diminta mewakili perusahaan, lebih tepatnya mewakili pak Rully.” Ujarnya dengan mimik serius.
“ Apaan tuh !” aku pura-pura nggak respek.
Fanni kembali mendekatkan wajahnya.
“ Kamu disuruh mewakili pak Rully untuk ikut pendakian massal dengan pihak media di ‘gunung Slamet ‘ Sabtu depan.”
Suara pelan Fanni terdengar menggelegar seperti petir yang menyambar di tengah sawah. Hatiku menjadi sangat kacau. Kalau saja masih ada balon yang tersisa pasti akan kupegang erat-erat. Takut terlepas. Begitu juga dengan detak jantungku yang tiba-tiba berdetak lebih kencang. Benar-benar terkejut aku dibuatnya. Aku hanya bisa terdiam, tertegun sambil mengerjap-ngerjapkan mata seperti boneka yang dipajang di etalase toko.
Fanni melambaikan tangannya di depan mataku.
“ Ada apa Wan ?” tanya Fanni bingung.
“ Fan, kamu saja mewakili. Aku nggak berani.” Pintaku memelas.
Sayang sekali gadis itu hanya menggeleng sambil tersenyum.
“ Aku nggak berani melangkahi wewenang pak Rully. Ini perintah langsung beliau.”
Tiba-tiba badanku menggigil, badanku keluar keringat dingin. “ Iya, tapi aku betul-betul nggak sanggup. Aku sudah janji, please.” Pintaku sekali lagi memelas. Tiba-tiba saja Aku menjadi cengeng.
Fanni menarik sebuah kursi dari meja sebelah, ia kini duduk di seberang meja menghadap kearahku. “ Janji apaan itu ,Wan ?”
Aku meletakkan tanganku diatas meja, tangan kiriku mengusap keringat yang merembes di dahiku.
“ Aku sudah berjanji tak akan naik gunung lagi kecuali kalau jadi Tim SAR.” Ujarku lirih.
Fanni menghembuskan nafas seusai mendengar pengakuanku. Sejenak kemudian ia meraih tanganku, digenggamnya tanganku yang dingin itu erat-erat. Darahku langsung berdesir mendapat perlakuan seperti itu.
“ Wandi. Kamu kok nggak pernah cerita tentang hal itu padaku ?”
Aku hanya mendesah pelan, pikiranku masih kalut.
“ Itu memang hanya rahasia pribadiku. Tak banyak orang yang tahu tentang hal ini.”
Fanni menepuk-nepuk punggung tanganku. Ia 1 tahun lebih muda dariku. Selama aku bersahabat dengannya, ia banyak membantuku. Baik dalam urusan pekerjaan, kampus maupun kehidupan sehari-hari. Kepadanyalah aku sering berkeluh kesah tentang permasalahanku. Dialah orang yang paling dapat memahamiku.
“ Wan. Aku tidak bisa membantumu. Yang kutahu kamu harus tegar, kamu harus kuat. Aku yakin kamu pasti sanggup, aku sangat mengenalmu.” Ujar Fanni sambil meninggalkan mejaku. Sebelum ia sampai ke mejanya, ia berbalik dan mendekat.
“ Anggap saja kamu sebagai Back Up Rescuenya, mungkin itu bisa membantu. Dan satu lagi Tuan Putri akan menemanimu.”
BERSAMBUNG....
“ Badi-badi Hom…! ” teriakku begitu aku masuk kedalam ruangan kantor. Sambil bersiul-siul kecil, aku melangkah manis menuju meja kerjaku yang terletak di pojok ruangan. Aku tersenyum-senyum tebar pesona, tidak lupa menarik kuncir Sukma yang menjuntai. Padahal Sukma paling sewot bila ada orang yang berani mengganggu-gugat kuncir kesayangannya. Setengah berlari aku menghindari Sukma yang bersiap menimpukku dengan pensil yang ada ditangannya.
“Hhh…” aku menghembuskan nafas lega begitu aku duduk di kursi kerjaku. Diatas meja tampak bertumpuk berkas-berkas kertas HVS berukuran folio. Lembar penilaian personal peserta Outbound Training hari minggu lalu belum sempat aku selesaikan. Berkas-berkas tersebut bertumpuk menjadi satu dengan berkas-berkas kerjaku yang lain.
Sebuah map berisi rencana lapangan untuk program Outbound bulan depan aku keluarkan dari dalam ranselku. Pak Rully, Boss kantorku yang juga Papanya Sukma memintaku untuk menyelesaikannya hari ini, karena akan dipakainya untuk presentasi dengan klien minggu depan. Berkas setebal 20 halaman itu aku taruh saja diatas meja, malas untuk mengecek ulang.
“ Wan, mau dibikinin kopi nggak ?” teriak Mbak Dessy dari mejanya. Diatas meja mbak Dessy juga bertumpuk kertas HVS folio yang kutahu pasti berisi berkas-berkas proposal yang belum ia sebar ke perusahaan-perusahaan rekanan.
“ Tengkyu, mbak. Tadi aku sudah Ngopi di kantin kampus ! ” Jawabku tak kalah keras.
Sukma melotot lagi, Ia paling tidak suka dan sering ngomel kalau kami teriak-teriak didalam kantor. Maklum saja, dia memang diserahi papanya untuk mengurusi masalah rumah tangga dan administrasi di kantor ini. Tetapi malah teman-teman di kantor paling suka menjodoh-jodohkan aku dengan Sukma. Huh, sialan.
Tak berapa lama, Fanni rekan kerjaku dalam urusan operasional, mendekati meja kerjaku. Fanni yang berambut keriting spiral kayak mie instan tersebut, membawa Innaco berwarna oranye yang bikin aku ngiler. Sengaja ia memamerkan nutri jell kesukaanku yang berwarna merah menggoda.
“ Kamu dapat tugas dari pak Rully. Tugas khusus ! ” ujarnya serius.
“ Tugas khusus apaan Fan. Suruh ngadain demo memasak untuk ibu-ibu ?” tanyaku konyol yang langsung saja membuat kepalaku dijitak oleh Fanni.
“ Habis apa lagi. Kamu sih pake tebak-tebakan segala !” ujarku pura-pura sewot.
Aku pura-pura sibuk melanjutkan pekerjaanku. Fanni ikutan melongok ke mejaku ketika aku terlihat sibuk membuka-buka berkas -berkasku. Kali ini ia berbaik hati dengan menyodorkan beberapa cup Innaco kepadaku. Ia pasti merasa senang karena ia tahu kalau aku sangat menyukai nutri jell, apa lagi Innaco. Teman-teman kantor sering meledekku dengan menyebut aku seperti anak kecil.
Fanni mendekatkan wajahnya kearahku “ Kamu diminta mewakili perusahaan, lebih tepatnya mewakili pak Rully.” Ujarnya dengan mimik serius.
“ Apaan tuh !” aku pura-pura nggak respek.
Fanni kembali mendekatkan wajahnya.
“ Kamu disuruh mewakili pak Rully untuk ikut pendakian massal dengan pihak media di ‘gunung Slamet ‘ Sabtu depan.”
Suara pelan Fanni terdengar menggelegar seperti petir yang menyambar di tengah sawah. Hatiku menjadi sangat kacau. Kalau saja masih ada balon yang tersisa pasti akan kupegang erat-erat. Takut terlepas. Begitu juga dengan detak jantungku yang tiba-tiba berdetak lebih kencang. Benar-benar terkejut aku dibuatnya. Aku hanya bisa terdiam, tertegun sambil mengerjap-ngerjapkan mata seperti boneka yang dipajang di etalase toko.
Fanni melambaikan tangannya di depan mataku.
“ Ada apa Wan ?” tanya Fanni bingung.
“ Fan, kamu saja mewakili. Aku nggak berani.” Pintaku memelas.
Sayang sekali gadis itu hanya menggeleng sambil tersenyum.
“ Aku nggak berani melangkahi wewenang pak Rully. Ini perintah langsung beliau.”
Tiba-tiba badanku menggigil, badanku keluar keringat dingin. “ Iya, tapi aku betul-betul nggak sanggup. Aku sudah janji, please.” Pintaku sekali lagi memelas. Tiba-tiba saja Aku menjadi cengeng.
Fanni menarik sebuah kursi dari meja sebelah, ia kini duduk di seberang meja menghadap kearahku. “ Janji apaan itu ,Wan ?”
Aku meletakkan tanganku diatas meja, tangan kiriku mengusap keringat yang merembes di dahiku.
“ Aku sudah berjanji tak akan naik gunung lagi kecuali kalau jadi Tim SAR.” Ujarku lirih.
Fanni menghembuskan nafas seusai mendengar pengakuanku. Sejenak kemudian ia meraih tanganku, digenggamnya tanganku yang dingin itu erat-erat. Darahku langsung berdesir mendapat perlakuan seperti itu.
“ Wandi. Kamu kok nggak pernah cerita tentang hal itu padaku ?”
Aku hanya mendesah pelan, pikiranku masih kalut.
“ Itu memang hanya rahasia pribadiku. Tak banyak orang yang tahu tentang hal ini.”
Fanni menepuk-nepuk punggung tanganku. Ia 1 tahun lebih muda dariku. Selama aku bersahabat dengannya, ia banyak membantuku. Baik dalam urusan pekerjaan, kampus maupun kehidupan sehari-hari. Kepadanyalah aku sering berkeluh kesah tentang permasalahanku. Dialah orang yang paling dapat memahamiku.
“ Wan. Aku tidak bisa membantumu. Yang kutahu kamu harus tegar, kamu harus kuat. Aku yakin kamu pasti sanggup, aku sangat mengenalmu.” Ujar Fanni sambil meninggalkan mejaku. Sebelum ia sampai ke mejanya, ia berbalik dan mendekat.
“ Anggap saja kamu sebagai Back Up Rescuenya, mungkin itu bisa membantu. Dan satu lagi Tuan Putri akan menemanimu.”
BERSAMBUNG....
prakata
Perkenalkan, namaku Samsi, dan berdiri gagah disana adalah gunung Slamet, gunung tertinggi nomor dua di pulau Jawa. Tak perlu bertanya berapa sebenarnya tinggi gunung itu, yang pasti di ketinggian puncaknya disana tersimpan sebuah monumen kematian, sebuah memori yang sangat pahit yang akan selalu muncul dalam benakku saat kudengar, kulihat dan kurasakan kehadiran gunung itu.
Sejak kecil aku terbiasa melihat puncak gunung itu. Dari sebuah desa kecil yang berjarak 70 Km dari puncak gunung tersebut dapat kulihat puncak gunung kekar yang tiada lancip itu. Badannya yang kekar dengan ujungnya yang tumpul selalu menjadi bahan leluconku semasa kecil. Konon, kerucut puncak gunung tersebut hancur dan terbang entah kemana setelah terkena tendangan dari Werkudara, seorang tokoh sakti dari dunia pewayangan.
Lupakan tentang cerita masa kecilku, kita lihat betapa gunung itu telah menjadi monumen kematian yang abadi. Disana, di ujung sebuah sungai kecil, dibawah waterfall dan seonggok ranting basah yang menumpuk didalam ceruk, tersimpan sebuah memori abadi tentang sebuah kepergian yang tak tertahankan meski doa-doa tak kunjung henti dipanjatkan. Sebentuk kabut tipis yang muncul bersama terbit matahari telah menjadi pertanda bahwa seseorang telah terbang menuju ke ketinggian Tuhan. Dialah Ismarilianti.
Siapapun tahu bahwa ketika alam sedang tidak bersahabat, maka yang didapat oleh manusia adalah bencana. Tetapi saat alam sedang bersahabat dengan manusia, maka yang didapat oleh manusia adalah anugerah, keindahan yang sangat luar biasa. Dan disana, di puncak gunung itu, batas antara bencana dan anugerah itu sangatlah tipis. Setipis oksigen yang membalut puncak Himalaya.
Hal itulah yang terjadi dengan bulan Februari 2001, keindahan yang baru saja terhampar dalam sekejap berubah menjadi malapetaka yang merenggut nyawa. Badai ganas yang menerpa puncak itu datang ketika baru saja kaki-kaki gemetar para pendaki itu dijejakkan. Dan sekejap berikutnya kematian hanya tinggal menunggu waktu dan keselamatan adalah sebuah anugerah yang sangat luar biasa.
Masrukhi, Turniyadi alias Dodo, Ahmad Fauzan, Ismarilianti dan Bregas Agung Pramudita, mereka adalah nama-nama pendaki yang harus menunggu maut datang bersama Hypothermia yang mengancam. Sementara Dewi Priamsari dan Bagus Gentur Sakanegara serta 20 pendaki yang lain seolah mendapat keajaiban Tuhan yang membuat mereka dapat selamat dari jebakan badai yang dahsyat tersebut.
Tragedi itu begitu memilukan. Bagiku, bagi kami yang mencintai mereka. Rasanya kami tidak percaya harus kehilangan mereka dalam waktu yang begitu cepat dan nuansa yang begitu tragis.
Telah 6 tahun lebih peristiwa itu berlalu, dan selama itu pula penggalan kisah peristiwa itu telah menjadi memori utama dalam benakku. Telah 6 tahun pula aku mencoba untuk menuliskan kisah pengalamanku ini. Hingga dengan segala perjuanganku melawan diri sendiri, dan disertai dengan sedikit tetesan airmata kecil, ketika aku harus mengingat saat-saat paling menyedihkan itu, akhirnya selesai sudah kisah ini. Kisah nyata, sebuah kesaksian akan peristiwa pendakian Gunung Slamet Februari 2001.
Aku ingin berbagi pengalaman, aku ingin berbagi kisah, aku juga ingin agar kisah ini dapat dikenang, dan aku sangat ingin nama-nama pendaki selalu dikenang dan menjadi abadi. Aku ingin orang tahu akan sebagian penggalan dari peristiwa itu berdasarkan kesaksian ini, hingga orang akan dapat memahami lebih akan berbagai misteria alam yang terjadi.
Pembaca, yang budiman,
Selamat membaca,
Hormat saya
Samsi
Rabu, 14 Mei 2008
lokasi penemuan
Tentang Gunung Slamet


Gunung Slamet
Gunung Slamet adalah gunung tertinggi (3432 M) di Jawa Tengah, disamping terkenal karena ketinggiannya, gunung yang terletak di sebelah utara kota Purwokerto dan sebelah barat kota Purbalingga ini juga mempunyai beberapa sumber air panas yang salah satunya adalah tempat rekreasi Baturaden (purwokerto). Untuk mencapai puncak slamet, ada beberapa rute pendakian yang dapat ditempuh diantaranya : 1. Blambangan (punggung timur) 2. Baturaden (punggung selatan) 3. Kaliwadas (punggung barat) Dari beberapa rute pendakian yang ada, blambangan adalah rute yang paling banyak ditempuh oleh para pendaki, disamping karena jalur pendakian yang cukup aman, panorama yang ada sangat lengkap, dari pemandangan alam yang membentang ke timur sampai daerah Banjarnegara, juga banyaknya kera liar yang dapat ditemui dalam perjalanan menuju ke puncak slamet. Hanya waktu yang diperlukan untuk dapat mencapai puncak tidak secepat jalur baturaden. Perjalanan dimulai dari kota Purwokerto. Dari sini penulis menuju daerah yang dinamakan serayu (sebelah utara bobotsari), dengan menggunakan bis yang menuju ke kota Pemalang, dengan perjalanan sekitar 45 menit kami tiba di serayu dan melanjutkan perjalanan menuju meratin. Hanya ada satu angkutan yang tersedia yaitu angkutan pedesaan dengan kendaraan bak terbuka untuk dapat menuju meratin sebelum akhirnya sampai ke Blambangan. Untuk sebagai catatan di gunung ini juga hampir tidak ditemui mata air mengalir selama dalam perjalanan, jadi disarankan untuk membawa air minum yang cukup untuk pendakian. Blambangan merupakan desa terakhir dan merupakan pintu gerbang pendakian menuju puncak slamet dan di sinilah para pendaki memeriksa kembali perlengkapannya. Setelah menyelesaikan administrasinya di sini, pendakian menuju ke puncak Gunung Slamet dimulai. Meskipun gunung ini paling tinggi tapi ketinggian itu tidak terlalu terasa pada saat perjalanan, karena areal pendakian yang merupakan hutan yang masih perawan seakan lupa bahwa sedang mendaki gunung tertinggi di Jawa Tengah. Ditambah dengan bunyi binatang yang khas dan pemunculan kera yang jumlahnya tidak sedikit membuat perjalanan semakin menarik. Untuk mencapai puncak slamet dibutuhkan waktu antara 8 – 15 jam pada keadaan normal. Hutan-hutan yang asri akan hilang ketika sampai di tempat yang dinamakan Sanghyang Rangkah, dan berganti dengan semak-semak dan sesekali ditemui pohon khas pendaki atau pohon eidelweis dan buah khas pendaki (arbei). Semak - semak yang asri juga akan tiba-tiba menghilang tanpa bekas ketika sampai di Pelawangan (lawang = pintu) atau pintu menuju ke puncak slamet. Perjalanan akan semakin menarik sekaligus juga berbahaya ketika kita melalui pelawangan ini. Disamping hanya pasir dan batu dan sudut pendakian yang semakin membesar bahkan sekilas seperti mendaki tebing, di daerah ini sangat rawan kecelakaan karena di kanan kiri hanya ada jurang dan tidak ada satupun pohon untuk pegangan. Maka disarankan untuk para pemula agar ekstra hati-hati dalam mendaki daerah ini, bahkan untuk keadaan tertentu sebaiknya sambil merayap, karena pijakan kita bisa tiba-tiba longsor, karena medan yang dilalui adalah jalan berpasir dan sangat rentan untuk longsor, di daerah ini juga kadang-kadang terjadi badai gunung dan bahayanya menjadi berlipat jika badai gunung datang, oleh karena itu disarankan pula mendaki daerah ini pada saat pagi hari. Dengan dilaluinya daerah pelawangan ini maka pendaki akan menemukan dataran yang tidak begitu besar dan disana tidak ada lagi daerah yang lebih tinggi atau dengan kata lain pendaki telah sampai ke puncak slamet. Sebuah perasaan bangga sekaligus haru ketika penulis berada di puncak tertinggi di Jawa Tengah selama sekitar 15 menit. Sebuah pemandangan yang sulit dibayangkan terbentang disekeliling pandangan mata penulis. Mulai dari bibir kawah yang masih sangat aktif sampai puncak Gunung Suumbing yang letaknya sekitar 100 km arah timur Gunung Slamet terlihat dengan jelas dan betapa indahnya ciptaan Tuhan. Dan satu hikmah yang penulis dapatkan bahwa ternyata manusia sangat kecil dihadapan Yang Maha Kuasa.
Untuk Sebuah Nama

Yah, dia memang telah menghabiskan hampir seluruh energiku. Tapi tidak apa-apa, aku sangat menyukai itu. Dia kini yang selalu menghadirkan inspirasi bagiku untuk selalu melakukan yang terbaik.
Lagu untuk Sebuah Nama
.............................................
Mengapa Dadaku meski bergetar, sedang musikpun manis kudengar,
Mungkin karena kulihat lagi, lentik bulu wajahmu, Bibirmu, dan rambutmu yang kau biarkan,
Jatuh bergerai dikeningmu..............
Menuju Ketinggian Tuhan

Setelah 1 malam melakukan perawatan dan sempat beberapa jam sempat membaik kondisinya. saat itulah kami terlena. Aku sempat tertidur 1.5 jam dan terbangun saat dia mengucapkan kata terakhirnya. dan saat itulah kutahu kami telah kehilangannya. Padahal dia adalah satu-satunya yang orang yang mengetahui semua kejadian yang dialami satu-persatu dari ketujuh temannya.
Yah, itulah takdir......dia telah terbang menuju ketinggian Tuhan. Dalam keremangan kabut pagi, diujung sebuah sungai kecil, didalam ceruk kecil. Ia telah melangkah dengan damai...
Begitulah sedikit cerita dibalik tragedi gunung Slamet februari 2001. Kini semua ingatan itu telah aku susun dalam sebuah buku kecil yang berisi kesaksianku tentang tragedi itu.
Untuk Sebuah Nama

Waktu itu, aku yang seorang penggiat alam bebas terpanggil untuk membantu teman-temanku di Mapagama yang sedang terkena musibah. 1 regu pendakian yang terdiri dari 7 orang sedang terjebaj badai di puncak gunung Slamet (3428 mdpal). sementara 20 pendaki lain yang terbagi dalam 3 kelompok juga kemungkinan sedang menghadapi hal yang sama. Badai dahsyat!!
berita yang kami terima waktu itu, 1 orang pendaki telah meninggal!
Singkat cerita, aku yang sedikit mengetahui tentang SAR, terpanggil untuk menjadi relawan. berbekal ransel korea, beberapa perlengkapan standar, serta logistik seadanya, akupun berangkat melaksanakan tugas mulia ini. Dalam upaya pencarian itu, aku bersama dengan 2 orang rekan yaitu Sugiharto (Wanadri) dan Eko Cahyo Aprilianto alias Pion(P3K UGM) seolah mendapat petunjuk Tuhan, berhasil menemukan 1 orang survivor yang bernama Ismarilianti. Dia kami temukan pada ketinggian 2750 mdpal.
berita yang kami terima waktu itu, 1 orang pendaki telah meninggal!
Singkat cerita, aku yang sedikit mengetahui tentang SAR, terpanggil untuk menjadi relawan. berbekal ransel korea, beberapa perlengkapan standar, serta logistik seadanya, akupun berangkat melaksanakan tugas mulia ini. Dalam upaya pencarian itu, aku bersama dengan 2 orang rekan yaitu Sugiharto (Wanadri) dan Eko Cahyo Aprilianto alias Pion(P3K UGM) seolah mendapat petunjuk Tuhan, berhasil menemukan 1 orang survivor yang bernama Ismarilianti. Dia kami temukan pada ketinggian 2750 mdpal.
Langganan:
Postingan (Atom)